Sosok seorang Hoegeng telah banyak
ditulis di banyak buku. Namun tidak akan pernah kita merasa jemu untuk
mengikuti perjalanan hidup sang legendaris ini. Saat Gus Dur menjabat sebagai
Presiden RI, beliau berkata: “Hanya ada dua orang polisi yang tidak bisa
disogok yaitu, polisi tidur dan Hoegeng.” Melihat hal ini saya pun tak kuasa
menahan senyum. Memang benar, mana mungkin polisi tidur bisa disogok dikasih
uang suruh pergi (hahahaha). Jika sudah menyangkut manusia pastilah tidak lepas
dari hawa nafsu. Namun tidak dengan Bapak Hoegeng yang satu ini. Ketika
kelompok petisi 50 mengadakan rapat di kediaman Ali Sadikin, yang empunya
terkaget-kaget karena tidak jarang Hoegeng naik bajaj. Yang bahkan untuk membayar
PBB pun, saat Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI pernah membantu
melunasinya.
Mengapa Hoegeng teguh pada pendirian
untuk bersih, tidak korupsi, tidak takut dan terbuka? “Yang penting dalam
kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan
yang mencemarkan”, kata bapaknya yang sampai akhir hayat tidak punya rumah dan
tanah pribadi. Bagaimana kat-kata itu tidak berpengaruh karena bapaknya juga
seorang pejabat. Bukan pejabatnya yang jadi soal, namun kekuasaan yang dipegang
bapaknya tidak membuatnya lupa diri. Ayah
Hoegeng adalah Skario Hatmodjo, pernah jadi Kepala Kejaksaan di Pekalongan.
Cerita yang menakjubkan
Ketika ditugaskan ke Kepala Bareskrim Sumatera
Utara, sikap Hoegeng memperlihatkan sosok dirinya. Saat itu SUMUT terkenal
dengan mafianya. Di hari pertama kedatangannya, Hoegeng disambut dengan cara
khas Mafia. Rumah pribadi dengan perabotan lengkap serta mobil telah disediakan
cukong-cukong perjudian. Hoegeng memilih tinggal di hotel sebelum dapat rumah
dinas.
Namanya mafia tidak boleh mati angin.
Saat rumah dinas tersedia, sebelum Hoegeng datang, rumah sudah disediakan
perabotan lengkap. Hoegeng memberi ultimatum agar perabotan itu diambil
kembali. Karena tidak digubris akhirnya perabotan itu dikeluarkan dan
diletakkan di tepi jalan di rumah dinasnya. Kota Medan gempar. Baru pertama
kali ada pejabat polisi yang tidak mempan disogok.
Dari Medan kembali ke Jakarta. Karena
belum dapat rumah dinas, Hoegeng menumpang di garasi rumah mertua di Menteng.
Sehari sebelum diangkat jadi Kepala Jawatan Imigrasi, dia minta kios bunga
istrinya ditutup. Dia khawatir orang akan membeli bunga yang dibeli dari kios
milik istri seorang Kepala Jawatan Imigrasi itu. Dan yang paling mencengangkan
kios itu tidak pernah lagi buka hingga kini.
Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono
I, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam Kabinet Seratus Menteri.
Saat ditawari mobil dinas, Hoegeng menjawab: “Saya masih punya mobil dinas, dan
cukup satu saja. Tugas saya mencari uang untuk negara, bukan menghabiskan uang
negara.”
Pada jaman Orde Baru, Hoegeng diminta
jadi Kapolri. Kasus Sum Kuning yang melibatkan anak pejabat dan tokoh Jogja
diangkat. Juga kasus terbunuhnya mahasiswa ITB. Tapi akhirnya Hoegeng
terjungkal saat menangani kasus mobil mewah selundupan Robby Tjahjadi. Hoegeng
yang hendak melaporkan kasus selundupan ini tertegun. Karena yang hendak
dilaporkan tengah berbincang dengan petinggi negeri ini.
Semenjak itu beliau tidak lagi pernah
percaya pada “orang nomor satu di Indonesia”. Hari berlalu dan Hoegeng
dipensiunkan 2 tahun sebelum waktu pensiun tiba. Alasan pergantian Hoegeng
adalah peremajaan. Tapi yang menggantikan ternyata usianya dua tahun lebih tua
dari usia Hoegeng. Apa seperti itu yang dinamakan peremajaan. Dalam pensiun
itu, Hoegeng mengembalikan mobil dinas, satu-satunya mobil yang selama ini
dipakai kemana pun.
Konon kabarnya, usai pensiun pun
Hoegeng tidak punya rumah sendiri seperti bapaknya. Rekan-rekan dekat Hoegeng
berembug, yang akhirnya disepakati iuran yang mereka himpun dibelikan rumah
untuk ditempati Hoegeng dan keluarganya. Kemana-mana Hoegeng naik bus umum, dan
dirinya tidak pernah merasa risih.
Sosok Hoegeng terbayang. Tidak terasa
rindu akan pemimpin seperti ini memantul-mantul. Dalam kondisi carut-marut
seperti ini, kata-kata Hoegeng jadi amat patut untuk direnungkan: “Pemerintah
yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air
untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala.” Hoegeng pun berkata yang
kemudian ini menjadi kata-kata yang selalu mengingatkan sosok Hoegeng: “It’s nice to be important. But’s more
important to be nice” (Baik menjadi orang penting. Tapi yang lebih penting
adalah jadi orang baik).
Di balik wajah kebapakan Hoegeng
dengan kacamata tebalnya, tersimpan keberanian dan ketegasan. Ketika lulus dari
PTIK tahun 1952, Hoegeng yang masih muda dipanggil ke Istana. Saat ditanya
namanya, Presiden Soekarno berkata: “Apa tidak salah itu. Kan seharusnya
Sugeng. Mbok diganti Soekarno”.
Hoegeng menjawab: “Nggak bisa Pak. Karena Hoegeng itu dari
orangtua saya. Kebetulan pula nama pembantu saya di rumah, juga Soekarno”.
“Kurang ajar kamu”, kata Presiden
Soekarno sambil tertawa lepas.
“Keadilan pemimpin tampak dari kesabarannya saat
dia punya kekuasaan, punya jabatan, dan punya kekuatan.”
0 komentar:
Posting Komentar