Sebagai sebuah agama, Islam rutin
memproduksi tokoh dan ulama besar. Mereka dicintai rakyat, dikagumi
kecerdasannya dan kepemimpinannya diabadikan sejarah. Goresan pena banyak
menuliskan keteladanan, kezuhudan dan gerakan perjuangan yang indah untuk
dilukiskan. Jadilah, dunia dipaksa mengakui indahnya pesona Islam dan deretan
kesuksesannnya.
Salah satu pahlawan Islam adalah Umar bin
Khattab ra. Seorang pemabuk dan rajin membunuh anak perempuan ketika masa
jahiliyah. Sosok keras kepala, penuh ketegasan dan keberanian. Tapi di balik
semuanya, dirinya menyimpan satu sifat yaitu lemah lembut. Kok bisa?
Kita ambil sebuah contoh bagaimana
ke-Islaman Umar. Ketika itu dirinya bermaksud menemui Muhammad SAW untuk
membuat perhitungan. Di tengah perjalanan, seorang sahabat mencegahnya dan
meminta dirinya pulang. Sebab, adik perempuan Umar diketahui sudah memeluk
agama Islam.
Mendengar perkataan itu, Umar marah
mendengarnya. Dia pulang ke rumah dan menjumpai adik perempuannya yang
ketakutan melihat kedatangan kakaknya. Umar berusaha mengetahui apa yang
disembunyikan adiknya. Terjadi pertengkaran, tangan Umar menampar adiknya sampai
berdarah.
Kericuhan itu tidak lama berlangsung. Umar
sadar telah melakukan kesalahan besar yang tidak pantas dilakukan seorang
lelaki. Dia akhirnya menuruti keinginan adiknya berwudhu. Lantunan surat Thoha
menyentuh relung kalbu keimanan Umar. Sejak itu, dirinya resmi masuk agama
Islam. Rasulullah menghadiahi gelar “Al faruq” (sang pemuda”).
“Allah telah menempatkan kebenaran pada
lisan dan hati Umar. Dialah mampu membedakan yang hak dan yang batil,” (HR
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim).
Kepemimpinan Umar
Dalam sejarah Islam, Umar Bin Khattab
menjadi Khalifah kedua pasca kematian salah satu sahabat terbaik Rasulullah
SAW, Abu Bakar “sang manusia jujur”. Umar bin Khattab ketika diangkat sebagai
pemimpin mengucapkan pidato fenomenal
“Hai umat Muhammad! Saya telah diangkat
sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya
menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terkuat bagi kalian,
dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya
menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat
perhitungan”.
Selama memimpin dirinya mengajarkan banyak
keteladanan kepada masyarakat. Konsep tauhid membuatnya matang secara spritual
(keimanan), konseptual intelektual, kepemimpinan dan emosional. Memimpin di
mata Umar bagaikan seorang pelayan yang harus siap dalam kondisi apapun
melayani kebutuhan rakyat.
Pernah suatu kali dalam perjalanan
keliling kota, Umar mendapati percakapan seorang ibu yang sedang memasak
sesuatu untuk anaknya. Sang anak yang lapar berkata “ bu, sudah matang belum.
Perutku lapar”. Penuh kelembutan seorang ibu, dirinya menjawab “ sabar ya nak,
mudah-mudahan sebentar lagi matang”.
Umar mendekati sang ibu, alangkah terkejut
dirinya melihat apa yang dimasak sang ibu. Sebuah batu dimasak tanpa kejelasan
entah sampai kapan akan matang. “ Sungguh terlalu aku sebagai khalifah
membiarkan rakyat kelaparan” ujar hati nuraninya.
Hatinya terusik. Seketika Umar meminta
sang ibu menunggu dirinya mengambil makanan. Setelah menunggu cukup lama, Umar
datang memanggul sendiri sekarung tepung dan gandum dan makanan lainnya.
Sungguh Rasulullah sudah berhasil mendidik
dan mencetak kader sehebat Umar. Sosok mempesona yang sulit ditemukan kembali
dalam zaman sekarang. Tapi kita tak boleh berhenti berharap kelahiran kembali
pemimpin seperti Umar.
0 komentar:
Posting Komentar