Jumat, 25 Januari 2013

Merindukan Pemimpin Sehebat Umar




Sebagai sebuah agama, Islam rutin memproduksi tokoh dan ulama besar. Mereka dicintai rakyat, dikagumi kecerdasannya dan kepemimpinannya diabadikan sejarah. Goresan pena banyak menuliskan keteladanan, kezuhudan dan gerakan perjuangan yang indah untuk dilukiskan. Jadilah, dunia dipaksa mengakui indahnya pesona Islam dan deretan kesuksesannnya.

Salah satu pahlawan Islam adalah Umar bin Khattab ra. Seorang pemabuk dan rajin membunuh anak perempuan ketika masa jahiliyah. Sosok keras kepala, penuh ketegasan dan keberanian. Tapi di balik semuanya, dirinya menyimpan satu sifat yaitu lemah lembut. Kok bisa?

Kita ambil sebuah contoh bagaimana ke-Islaman Umar. Ketika itu dirinya bermaksud menemui Muhammad SAW untuk membuat perhitungan. Di tengah perjalanan, seorang sahabat mencegahnya dan meminta dirinya pulang. Sebab, adik perempuan Umar diketahui sudah memeluk agama Islam.

Mendengar perkataan itu, Umar marah mendengarnya. Dia pulang ke rumah dan menjumpai adik perempuannya yang ketakutan melihat kedatangan kakaknya. Umar berusaha mengetahui apa yang disembunyikan adiknya. Terjadi pertengkaran, tangan Umar menampar adiknya sampai berdarah.

Kericuhan itu tidak lama berlangsung. Umar sadar telah melakukan kesalahan besar yang tidak pantas dilakukan seorang lelaki. Dia akhirnya menuruti keinginan adiknya berwudhu. Lantunan surat Thoha menyentuh relung kalbu keimanan Umar. Sejak itu, dirinya resmi masuk agama Islam. Rasulullah menghadiahi gelar “Al faruq” (sang pemuda”).

“Allah telah menempatkan kebenaran pada lisan dan hati Umar. Dialah mampu membedakan yang hak dan yang batil,” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim).

Kepemimpinan Umar

Dalam sejarah Islam, Umar Bin Khattab menjadi Khalifah kedua pasca kematian salah satu sahabat terbaik Rasulullah SAW, Abu Bakar “sang manusia jujur”. Umar bin Khattab ketika diangkat sebagai pemimpin mengucapkan pidato fenomenal

“Hai umat Muhammad! Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandainya tidaklah didorong oleh harapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terkuat bagi kalian, dan orang yang paling teguh mengurusi urusan-urusan kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berat bagi Umar, menunggu datangnya saat perhitungan”.

Selama memimpin dirinya mengajarkan banyak keteladanan kepada masyarakat. Konsep tauhid membuatnya matang secara spritual (keimanan), konseptual intelektual, kepemimpinan dan emosional. Memimpin di mata Umar bagaikan seorang pelayan yang harus siap dalam kondisi apapun melayani kebutuhan rakyat.

Pernah suatu kali dalam perjalanan keliling kota, Umar mendapati percakapan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu untuk anaknya. Sang anak yang lapar berkata “ bu, sudah matang belum. Perutku lapar”. Penuh kelembutan seorang ibu, dirinya menjawab “ sabar ya nak, mudah-mudahan sebentar lagi matang”.

Umar mendekati sang ibu, alangkah terkejut dirinya melihat apa yang dimasak sang ibu. Sebuah batu dimasak tanpa kejelasan entah sampai kapan akan matang. “ Sungguh terlalu aku sebagai khalifah membiarkan rakyat kelaparan” ujar hati nuraninya.

Hatinya terusik. Seketika Umar meminta sang ibu menunggu dirinya mengambil makanan. Setelah menunggu cukup lama, Umar datang memanggul sendiri sekarung tepung dan gandum dan makanan lainnya.
Sungguh Rasulullah sudah berhasil mendidik dan mencetak kader sehebat Umar. Sosok mempesona yang sulit ditemukan kembali dalam zaman sekarang. Tapi kita tak boleh berhenti berharap kelahiran kembali pemimpin seperti Umar.

0 komentar:

Posting Komentar